Sekolah, Ngaji, PR, dan Jadwal Padat Les, Apa Sebenarnya yang Kita Inginkan dari Seorang Anak?

Ada satu hal momen yang selalu terkenang dalam ingatan saya. Pagi-pagi buta, ratusan anak sekolah di Beijing berjalan cepat di trotoar kota, membawa ransel besar seperti sedang memanggul dunia.

Anak-anak Berangkat Sekolah di China
Ilustrasi Anak-anak di China Berangkat Sekolah

Saya melihat mereka ketika suatu waktu berkunjung ke sana. Wajah-wajah yang terlalu muda untuk memikul beban sebesar itu.

Tapi mungkin memang begitulah dunia mendidik anak-anaknya di sana dengan keras, dengan cara yang harus teratur, dan dengan harapan yang nyaris tak memberi ruang untuk gagal.

Ketika saya membaca kembali kisah seorang teman yang tumbuh besar dalam sistem pendidikan China, saya seperti melihat pantulan lain dari diri kita yang sama-sama manusia, tapi dibesarkan dengan cara yang sangat berbeda.

Sekolah, Tapi Tak Sepenuhnya Menjadi Anak-anak

Namanya mungkin bukan hal penting. Tapi kisahnya seperti memoar yang ditulis diam-diam oleh banyak anak di Asia. Ia tumbuh di China, berpindah ke Amerika untuk kuliah, lalu mulai menengok masa lalu dengan kacamata baru yang lebih jernih, lebih dewasa, tapi tetap meninggalkan bekas yang tak mudah hilang.

Dulu, katanya, ia menganggap masa sekolahnya sebagai fase yang kelam. Tak ada ruang bermain, tak ada kebebasan memilih. Yang ada hanya buku, ujian, jadwal ketat, dan rasa lelah yang dikebiri dari usia dini. Sekolah enam hari seminggu bukan hal aneh. Di luar itu, masih ada les tambahan dan pekerjaan rumah yang tak pernah benar-benar selesai.

Ia benci itu semua. Tapi seiring waktu, ia mulai berdamai. Mungkin memang begitulah cara ia dibentuk, oleh tekanan, oleh rutinitas, oleh tuntutan yang kadang terlalu dewasa untuk tubuh sekecil itu.

Pada akhirnya, perlahan, ia menyadari, ada juga pelajaran berharga di sana: tentang bagaimana dunia tak selalu ramah, dan kita harus siap sejak dini.

Ranking yang Tak Pernah Ramah

Di China, katanya, sistem pendidikan bukan sekadar alat, tapi mesin besar yang bergerak cepat. Semua harus efisien. Semua harus punya hasil.

Di sekolahnya dulu, bahkan masa SMP dipadatkan jadi 2,5 tahun demi mempercepat persiapan menuju SMA dan Gao Kao, ini semacam ujian hidup yang menentukan masa depan.

Ada ratusan murid yang belajar materi tiga tahun dalam dua tahun. Kemudian, disaring lewat ujian besar selama beberapa hari. Yang nilainya tinggi, lanjut. Yang lain, tinggal menunggu giliran.

Ranking diumumkan di aula. Diumumkan ke orangtua. Bahkan kadang diumumkan ke seluruh sekolah. Semua tahu siapa yang terbaik, dan siapa yang tertinggal. Tak ada tempat bersembunyi. Tak ada ruang untuk mengelak.

Dan ini tak berhenti di sana. Saat masuk SMA pun, siswa dibagi ke kelas-kelas berdasarkan nilai mereka. Kelas 1 sampai kelas 6. Masih ditambah lagi dengan level A, B, C dalam pelajaran inti. Semua diukur, dinilai, diklasifikasi.

Anak-anak tumbuh dalam sistem yang membuat mereka sadar sejak dini. Kamu harus bekerja lebih keras dari orang lain, kalau tidak, kamu tak akan dianggap.

Kejam, Tapi Efektif Kah?

Sering kali, kita melihat sistem ini dengan pandangan yang miris. Kita bertanya, “Di mana ruang bermain mereka? Di mana ruang untuk bermimpi bebas, tanpa diburu waktu?”

Tapi nyatanya, sistem ini mencetak manusia-manusia yang tahan banting. Teman saya bilang, ketika ia kuliah di Amerika, ia tak pernah kesulitan menyusun prioritas.

Ia sudah terbiasa bangun jam enam pagi, belajar seharian, makan malam sambil mengerjakan PR, dan tidur dengan kepala yang masih sibuk merancang strategi esok hari.

Sistem pendidikan yang keras memang terasa berat. Tapi justru dari situ anak-anak belajar banyak hal penting dalam hidup. Mereka jadi lebih tangguh karena terbiasa menghadapi tantangan.

Mereka juga belajar mengatur waktu dengan baik, karena tugas dan jadwal yang padat menuntut mereka untuk lebih efisien. Disiplin pun tumbuh karena mereka harus mengikuti aturan dan rutinitas yang ketat.

Yang menarik, sistem ini juga mengajarkan bagaimana caranya menghadapi kegagalan. Karena soal-soal ujian yang sulit bukan hal langka, itu bagian dari keseharian. Jadi, ketika anak-anak mendapatkan nilai 60, mereka tidak langsung merasa hancur. Mereka belajar bahwa nilai rendah bukan akhir dari segalanya.

Justru itu kesempatan untuk memahami di mana letak kesalahan, lalu memperbaikinya. Dari situ, mereka tahu bahwa gagal itu wajar. Yang penting adalah bagaimana mereka bisa bangkit dan mencoba lagi dengan semangat baru.

Tapi… Apa Kabar Jiwa Mereka?

Namun, di balik itu semua, ada sesuatu yang mengganjal. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara seperti ini sering kesulitan "bersuara." Mereka terbiasa diam. Tak biasa mengutarakan pendapat. Karena sejak kecil, mereka hanya diajarkan untuk mendengar dan menuruti.

Segalanya tentang nilai. Tentang urutan. Tentang siapa yang lebih pintar dan siapa yang belum. Bukan tentang siapa yang berani bermimpi lain, atau siapa yang mampu membuat dunia melihat dari sisi yang berbeda.

Saya terdiam lama membaca bagian ini. Karena bukankah ini juga yang mulai terjadi di banyak tempat? Kita mengejar efisiensi, produktivitas, dan pencapaian, tapi sering lupa menumbuhkan kepercayaan diri dan kebebasan berpikir.

Kita mengukur semua anak dengan penggaris yang sama, padahal tidak semua ingin menjadi arsitek. Beberapa ingin menjadi pelukis. Beberapa hanya ingin bahagia.

Sekarang, Dunia Sudah Berubah… Tapi Apa Kita Sudah?

Kini, banyak hal mulai berubah di China. Misalnya, ujian Bahasa Inggris tak lagi wajib di Gao Kao. Ada jalur-jalur masuk universitas yang lebih fleksibel. Tapi benarkah sistemnya sudah berubah? Atau hanya sedikit melunak, namun esensinya tetap sama?

Teman saya kini tinggal di luar negeri. Tapi ia masih membawa bekal dari masa lalunya yaitu tentang betapa keras dunia akan mendidik anak-anak. Tentang bagaimana tekanan bisa membentuk, tapi juga bisa melukai. Ia berharap anak-anak di masa depan bisa tumbuh di lingkungan yang tidak hanya menyiapkan otak, tapi juga memelihara hati.

Karena Sekolah Tak Hanya Tentang Lulus Ujian

Saya menulis ini bukan untuk menghakimi sistem pendidikan mana yang lebih baik. Tapi untuk mengingatkan bahwa sekolah seharusnya bukan hanya tempat menyelesaikan soal, tapi juga tempat membangun manusia.

Anak-anak perlu tahu bagaimana rasanya gagal, tapi juga perlu tahu bahwa nilainya tidak menentukan seluruh hidup mereka. Anak-anak perlu disiplin, tapi juga perlu diberi ruang untuk bertanya, bereksperimen, dan bahkan salah arah sesekali.

Karena di ujung hari, dunia ini bukan hanya milik mereka yang hafal rumus, tapi juga mereka yang tahu cara menumbuhkan harapan. Dunia butuh orang-orang yang tahan banting, tapi juga butuh mereka yang bisa tersenyum di tengah tekanan. Sekolah, seharusnya menjadi tempat yang membantu keduanya tumbuh bersama.

Saya, Sri, masih percaya bahwa di balik kesibukan belajar dan daftar ranking, anak-anak tetap ingin merasa dicintai bukan karena nilai mereka, tapi karena siapa mereka. Pendidikan yang sejati adalah yang bisa melihat sisi kemanusiaan, bukan sekadar angka (di raport).

Husnul Khotimah

Seorang ibu yang senang menulis tentang motivasi diri, parenting dan juga tentang kehidupan sehari-hari di Jombloku. Semoga blog ini bisa membawa manfaat buat kita semua.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak